Pelukis. Bernama lengkap Otto Djajasuntara. Lahir di Rangkasbitung, Jawa
Barat, 6 Oktober 1916 dan meninggal di Jakarta, 23 Juni 2002. Otto
Djaja adik Agus Djaja, dipengaruhi sekali oleh karya-karya kakaknya
Djaja, yang darinya ia juga menerima banyak pendidikan seni. Selama
pendudukan Jepang ia bekerja di Pusat Kebudayaan. Otto Djaja menerima
latihan militer selama pendudukan Jepang, dan di masa revolusi adalah
mayor dalam angkatan perang Indonesia. Sebagian hasil dari dinasnya di
militer, ia sakit pada suatu waktu dan menjadi cacat sebagian. Kariernya
berbelok dari seorang militer dengan pangkat terakhir mayor, dan lebih
menekuni dunia seni rupa sebagai pilihan yang dilakoni sampai akhir
hayat. Ia pernah terlibat dalam pertarungan fisik pada zaman Jepang dan
terlatih sebagai anggota tentara PETA dengan pangkat Chudaneho. Sebagai
pejuang diakui dengan NPV 8.020.585.
Pada tahun 1947 ia dan
kakaknya mengadakan perjalanan ke Eropa, yang pada berbagai pameran
karya-karya mereka menarik banyak perhatian dan juga memenangkan
beberapa hadiah serta penghargaan. Ketika kembali ke Indonesia pada
1950, Otto Djaja bekerja di Jakarta sampai pernikahannya pada tahun
1952, ketika ia pindah ke Semarang. Di sini, untuk menghidupi isteri dan
beberapa anak, ia harus bekerja di sebuah kantor percetakan, serta
sebagai akibatnya ia kurang memiliki waktu untuk lukisannya.
Persagi
dan Otto Djaya adalah dua nama yang tak dapat dipisahkan. Kendati
kelompok ini nyaring berbunyi lewat ketokohan S Sudjojono yang menjabat
sekretaris, yang dengan lantang menyodorkan gagasan dan pikirannya lewat
tulisan-tulisannya yang tajam, sinis dan keras, tetapi Otto Djaya
berperan memberi kontribusi pada kumpulan ini. Misalnya, ia dikirim
belajar ke Rijks Academie van Beeldende Kunsten serta ikut kuliah di
Gemeentelijk Universiteit di Amsterdam selama tiga setengah tahun untuk
penjajakan kemungkinan berpameran dan mencari peluang ekonomi. Seperti
pelukis sezamannya, karya Otto.
Djaya didukung sikap dan pendapat
bahwa watak dan keadaan jiwa pelukis yang pada umumnya tegang dan
gelisah, dipandang penting harus hadir dalam lukisan. Dalam melukis
alam, benda atau manusia, yang lebih diutamakan adalah gelora emosi,
perasaan yang meluap si pelukis terhadap sebuah obyek. Jadi seni adalah
ekspresi. maka karyanya cenderung mendistorsi rupa obyek. Dalam seni
lukis, distorsi menjadi cara menggugah dan mengungkapkan emosi.
Sumber : http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2127/Otto-Djaja
Pelukis. Bernama lengkap Otto Djajasuntara. Lahir di Rangkasbitung, Jawa
Barat, 6 Oktober 1916 dan meninggal di Jakarta, 23 Juni 2002. Otto
Djaja adik Agus Djaja, dipengaruhi sekali oleh karya-karya kakaknya
Djaja, yang darinya ia juga menerima banyak pendidikan seni. Selama
pendudukan Jepang ia bekerja di Pusat Kebudayaan. Otto Djaja menerima
latihan militer selama pendudukan Jepang, dan di masa revolusi adalah
mayor dalam angkatan perang Indonesia. Sebagian hasil dari dinasnya di
militer, ia sakit pada suatu waktu dan menjadi cacat sebagian. Kariernya
berbelok dari seorang militer dengan pangkat terakhir mayor, dan lebih
menekuni dunia seni rupa sebagai pilihan yang dilakoni sampai akhir
hayat. Ia pernah terlibat dalam pertarungan fisik pada zaman Jepang dan
terlatih sebagai anggota tentara PETA dengan pangkat Chudaneho. Sebagai
pejuang diakui dengan NPV 8.020.585.
Pada tahun 1947 ia dan
kakaknya mengadakan perjalanan ke Eropa, yang pada berbagai pameran
karya-karya mereka menarik banyak perhatian dan juga memenangkan
beberapa hadiah serta penghargaan. Ketika kembali ke Indonesia pada
1950, Otto Djaja bekerja di Jakarta sampai pernikahannya pada tahun
1952, ketika ia pindah ke Semarang. Di sini, untuk menghidupi isteri dan
beberapa anak, ia harus bekerja di sebuah kantor percetakan, serta
sebagai akibatnya ia kurang memiliki waktu untuk lukisannya.
Persagi
dan Otto Djaya adalah dua nama yang tak dapat dipisahkan. Kendati
kelompok ini nyaring berbunyi lewat ketokohan S Sudjojono yang menjabat
sekretaris, yang dengan lantang menyodorkan gagasan dan pikirannya lewat
tulisan-tulisannya yang tajam, sinis dan keras, tetapi Otto Djaya
berperan memberi kontribusi pada kumpulan ini. Misalnya, ia dikirim
belajar ke Rijks Academie van Beeldende Kunsten serta ikut kuliah di
Gemeentelijk Universiteit di Amsterdam selama tiga setengah tahun untuk
penjajakan kemungkinan berpameran dan mencari peluang ekonomi. Seperti
pelukis sezamannya, karya Otto.
Djaya didukung sikap dan pendapat
bahwa watak dan keadaan jiwa pelukis yang pada umumnya tegang dan
gelisah, dipandang penting harus hadir dalam lukisan. Dalam melukis
alam, benda atau manusia, yang lebih diutamakan adalah gelora emosi,
perasaan yang meluap si pelukis terhadap sebuah obyek. Jadi seni adalah
ekspresi. maka karyanya cenderung mendistorsi rupa obyek. Dalam seni
lukis, distorsi menjadi cara menggugah dan mengungkapkan emosi.
Sumber : http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2127/Otto-Djaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar