Rabu, 29 Januari 2014

Kehidupan Otto Djaya ( Pelukis Indonesia )

Pelukis. Bernama lengkap Otto Djajasuntara. Lahir di Rangkasbitung, Jawa Barat, 6 Oktober 1916 dan meninggal di Jakarta, 23 Juni 2002. Otto Djaja adik Agus Djaja, dipengaruhi sekali oleh karya-karya kakaknya Djaja, yang darinya ia juga menerima banyak pendidikan seni. Selama pendudukan Jepang ia bekerja di Pusat Kebudayaan. Otto Djaja menerima latihan militer selama pendudukan Jepang, dan di masa revolusi adalah mayor dalam angkatan perang Indonesia. Sebagian hasil dari dinasnya di militer, ia sakit pada suatu waktu dan menjadi cacat sebagian. Kariernya berbelok dari seorang militer dengan pangkat terakhir mayor, dan lebih menekuni dunia seni rupa sebagai pilihan yang dilakoni sampai akhir hayat. Ia pernah terlibat dalam pertarungan fisik pada zaman Jepang dan terlatih sebagai anggota tentara PETA dengan pangkat Chudaneho. Sebagai pejuang diakui dengan NPV 8.020.585.


Pada tahun 1947 ia dan kakaknya mengadakan perjalanan ke Eropa, yang pada berbagai pameran karya-karya mereka menarik banyak perhatian dan juga memenangkan beberapa hadiah serta penghargaan. Ketika kembali ke Indonesia pada 1950, Otto Djaja bekerja di Jakarta sampai pernikahannya pada tahun 1952, ketika ia pindah ke Semarang. Di sini, untuk menghidupi isteri dan beberapa anak, ia harus bekerja di sebuah kantor percetakan, serta sebagai akibatnya ia kurang memiliki waktu untuk lukisannya.

Persagi dan Otto Djaya adalah dua nama yang tak dapat dipisahkan. Kendati kelompok ini nyaring berbunyi lewat ketokohan S Sudjojono yang menjabat sekretaris, yang dengan lantang menyodorkan gagasan dan pikirannya lewat tulisan-tulisannya yang tajam, sinis dan keras, tetapi Otto Djaya berperan memberi kontribusi pada kumpulan ini. Misalnya, ia dikirim belajar ke Rijks Academie van Beeldende Kunsten serta ikut kuliah di Gemeentelijk Universiteit di Amsterdam selama tiga setengah tahun untuk penjajakan kemungkinan berpameran dan mencari peluang ekonomi. Seperti pelukis sezamannya, karya Otto.

Djaya didukung sikap dan pendapat bahwa watak dan keadaan jiwa pelukis yang pada umumnya tegang dan gelisah, dipandang penting harus hadir dalam lukisan. Dalam melukis alam, benda atau manusia, yang lebih diutamakan adalah gelora emosi, perasaan yang meluap si pelukis terhadap sebuah obyek. Jadi seni adalah ekspresi. maka karyanya cenderung mendistorsi rupa obyek. Dalam seni lukis, distorsi menjadi cara menggugah dan mengungkapkan emosi.

Sumber : http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2127/Otto-Djaja Pelukis. Bernama lengkap Otto Djajasuntara. Lahir di Rangkasbitung, Jawa Barat, 6 Oktober 1916 dan meninggal di Jakarta, 23 Juni 2002. Otto Djaja adik Agus Djaja, dipengaruhi sekali oleh karya-karya kakaknya Djaja, yang darinya ia juga menerima banyak pendidikan seni. Selama pendudukan Jepang ia bekerja di Pusat Kebudayaan. Otto Djaja menerima latihan militer selama pendudukan Jepang, dan di masa revolusi adalah mayor dalam angkatan perang Indonesia. Sebagian hasil dari dinasnya di militer, ia sakit pada suatu waktu dan menjadi cacat sebagian. Kariernya berbelok dari seorang militer dengan pangkat terakhir mayor, dan lebih menekuni dunia seni rupa sebagai pilihan yang dilakoni sampai akhir hayat. Ia pernah terlibat dalam pertarungan fisik pada zaman Jepang dan terlatih sebagai anggota tentara PETA dengan pangkat Chudaneho. Sebagai pejuang diakui dengan NPV 8.020.585.


Pada tahun 1947 ia dan kakaknya mengadakan perjalanan ke Eropa, yang pada berbagai pameran karya-karya mereka menarik banyak perhatian dan juga memenangkan beberapa hadiah serta penghargaan. Ketika kembali ke Indonesia pada 1950, Otto Djaja bekerja di Jakarta sampai pernikahannya pada tahun 1952, ketika ia pindah ke Semarang. Di sini, untuk menghidupi isteri dan beberapa anak, ia harus bekerja di sebuah kantor percetakan, serta sebagai akibatnya ia kurang memiliki waktu untuk lukisannya.

Persagi dan Otto Djaya adalah dua nama yang tak dapat dipisahkan. Kendati kelompok ini nyaring berbunyi lewat ketokohan S Sudjojono yang menjabat sekretaris, yang dengan lantang menyodorkan gagasan dan pikirannya lewat tulisan-tulisannya yang tajam, sinis dan keras, tetapi Otto Djaya berperan memberi kontribusi pada kumpulan ini. Misalnya, ia dikirim belajar ke Rijks Academie van Beeldende Kunsten serta ikut kuliah di Gemeentelijk Universiteit di Amsterdam selama tiga setengah tahun untuk penjajakan kemungkinan berpameran dan mencari peluang ekonomi. Seperti pelukis sezamannya, karya Otto.

Djaya didukung sikap dan pendapat bahwa watak dan keadaan jiwa pelukis yang pada umumnya tegang dan gelisah, dipandang penting harus hadir dalam lukisan. Dalam melukis alam, benda atau manusia, yang lebih diutamakan adalah gelora emosi, perasaan yang meluap si pelukis terhadap sebuah obyek. Jadi seni adalah ekspresi. maka karyanya cenderung mendistorsi rupa obyek. Dalam seni lukis, distorsi menjadi cara menggugah dan mengungkapkan emosi.

Sumber : http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2127/Otto-Djaja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar